This is not Scam Alias Bukan Jebakan Batman

Komisi Gratis | Bisnis Online Tanpa Modal

Search This Blog

Selasa, 14 Desember 2010

(Tasawuf) Fana’ wa Baqa’


BAB I

PENDAHULUAN


 


 

  1. Latar Belakang

        Dizaman sekarang, melihat keadaan yang ada di tanah air kita sendiri setelah merdeka, betapa hebatnya ombak gelombang hidup kebendaan dan tekanan hawa nafsu, banyaklah orang yang masih sehat fikiran dan hendak mencari kekuatan pada keteguhan rohani, pada hidup Kebatinan. Oleh karena hidup kerohanian, atau kebatinan, atau hidup itu adalah salah satu pandangan hidup yang terpenting pula dalam perkembangan Agama Islam dan amat besar pula pengaruhnya di Indonesia, dan sedikitnya pengetahuan orang tentang Ilmu Islam khususnya Taswuf dan cabang-cabangnya. Pembahasan Al-Fana wal Baqa' merupakan salah satu cara untuk member tahu orang yang belum tahu tentang hal ini. Abu Yazid al-Bustami, nama lengkapnya adalah Abu Yazid bin Isa bin Syurusan al-Bustami. Dia lahir sekitar tahun 200 H (813 M) di Bustam, bagian Timur Laut Persia. Di Bustam ini pula ia meninggal dunia pada tahun 261 H (875 M); dan makamnya masih ada hingga saat ini (Fariduddin al-Attar, 1979: 100). Makamnya yang terletak di tengah kota menarik banyak pengunjung dari berbagai tempat. Ia dikuburkan berdampingan dengan kuburan Hujwiri. Nasiri Khusraw dan Yaqut. Pada tahun 1313 M. Didirikan di atanya sebuah kubah yang indah oleh seorang Sultan Mongol, Muhammad Khudabanda atas nasehat gurunya Syekh Syafruddin, salah seoarang keturunan dari Bustam itu (Aboebakar Atjeh, 1984: 259).

        Abu Yazid adalah seorang tokoh sufi yang terkenal pada abad ketiga Hijriyah. Kakeknya Surusyan adalah seorang penganut agama Zoroaster, yang kemudian masuk Islam. Sedikit sekali orang mengetahui tentang sejarah hidupnya. Jika tidak ada pengarang seperti at-Attar, orang tidak mengenalnya sama sekali. Siapa Abu Yazid itu, beberapa catatan mengenai hidupnya hanya berupa anekdot-anekdot sufi belaka (Fariduddin al-Attar, 1979: 101-105). Sebelum Abu Yazid mempelajari tasawuf, ia belajar agama Islam menurut mazhab Hanafi. Kemudian ia memperoleh pelajaran tentang ilmu tauhid dan hakikat, begitu juga tentang ilmu tauhid dan hakikat, begitu juga tentang fana' dari Abu Ali Sindi. Dia tidak meninggalkan tulisan, tetapi pengikut-pengikutnyalah mengumpulkan ucapan/ajaran-ajarannya (Aboebakar Atjeh, 1984: 135-136).

        Abu Yazid adalah seorang zahid yang terkenal. Baginya zahaid itu adalah seoarang yang telah menyediakan dirinya untuk hidup berdekatan dengan Allah. Hal ini berjalan melalui tiga fase, yaitu zuhud terhadap dunia,

    zuhud terhadap akhirat dan zuhud terhadap selain Allah. Dalam fase terakhir

    ini ia berada dalam kondisi mental yang menjadikan dirinya tidak mengingat apa-apa lagi selain Allah. Abu Yazid merupakan seorang tokoh sufi yang membawa ajaran yang berbeda dengan ajaran-ajaran tasawuf sebelumnya. Ajaran yang dibawanya banyak ditentang oleh ulama Fiqh dan Kalam, yang menjadi sebab ia keluar masuk penjara. Meskipun demikian, ia memperoleh banyak pengikut yang percaya kepada ajaran yang dibawanya. Pengikut-pengikutnya menamakannya Taifur. Kata yang diucapkannya seringkali mempunyai arti yang begitu mendalam, sehingga jika ditangkap secara lahir akan membawa kepada syirik, karena mempersekutukan antara Tuhan dengan manusia. Memang dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid dipandang sebagai pembawa faham al-fana' dan al-baqa' serta sekaligus pencetus faham al-ittihād; dan A. J. Arberry menyebutnya sebagai "first of the 'intoxicated' sufis". (Orang pertama dari kaum sufi yang mabuk

    kepayang) (A. J. Arberry, 1979: 54).

        Apa yang dimaksud dengan al-fana', al-baqa' dan al-ittihād yang

    menjadi inti dari ajaran tasawuf Abu Yazid ini akan diuraikan pada bagian

    kedua berikut ini, yang disertai dengan beberapa penilaian orang dan analisa

    seperlunya. Terakhir, bagaian ketiga, akan dirumuskan beberapa kesimpulan.


     


     


     


     

    BAB II

    PEMBAHASAN


     


     

    1. Tokoh Al-Fana wal Baqa'

        Abu Yazid Thoifur bin Isa bin Surusyan al-Busthami. Lahir di Bustham yang terletak di bagian timur Laut Persi. Meninggal di Bustham pada tahun 261 H/874 M. Beliau adalah salah seorang Sulton Aulia, yang merupakan salah satu Syech yang ada di silsilah dalam thoriqoh Sadziliyah, Thoriqoh Suhrowardiyah dan beberapa thoriqoh lain. Tetapi beliau sendiri menyebutkan di dalam kitab karangan tokoh di negeri Irbil sbb:" ...bahwa mulai Abu Bakar Shiddiq sampai ke aku adalah golongan Shiddiqiah." (mistikus-sufi.blogspot.com/2008/03/abu-yazid-al-bustami.html, 27 Nopember 2010).

    Masa Remaja

        Kakek Abu Yazid al Busthami adalah seorang penganut agama Zoroaster. Ayahnya adalah salah satu di antara orang-orang terkemuka di Bustham. Kehidupan Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia masih berada dalam kandungan. "Setiap kali aku menyuap makanan yang kuragukan kehalalannya" , ibunya sering berkata pada Abu Yazid, "engkau yang masih berada didalam rahimku memberontak dan tidak mau berhenti sebelum makanan itu kumuntahkan kembali". Pernyataan itu dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri (mistikus-sufi.blogspot.com/2008/03/abu-yazid-al-bustami.html, 27 Nopember 2010).

        Setelah sampai waktunya, si ibu mengirimkan Abu Yazid ke sekolah. Abu Yazid mempelajari Al Qur-an. pada suatu hari gurunya menerangkan arti satu ayat dari surat Lukman yang berbunyi, "Berterimakasihlah kepadaKu dan kepada kedua orang tuamu". Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Abu Yazid meletakkan batu tulisnya dan berkata kepada gurunya, "Ijinkanlah aku untuk pulang,. Ada yang hendak kukatakan pada ibuku".
    Si guru memberi ijin, Abu Yazid lalu pulang kerumahnya. Ibunya menyambutnya dengan kata-kata,"Thoifur, mengapa engkau sudah pulang? Apakah engkau mendapat hadiah atau adakah sesuatu kejadian istimewa?"
    "Tidak" jawab Abu Yazid "Pelajaranku sampai pada ayat dimana Alloh memerintahkan agar aku berbakti kepadaNya dan kepadamu. Tetapi aku tak dapat mengurus dua rumah dalam waktu yang bersamaan. Ayat ini sangat menyusahkan hatiku. Maka wahai ibu, mintalah diriku ini kepada Alloh sehingga aku menjadi milikmu seorang atau serahkanlah aku kepada Alloh semata sehingga aku dapat hidup untuk Dia semata-mata".
    "Anakku" jawab ibunya "aku serahkan engkau kepada Alloh dan kubebaskan engkau dari semua kewajibanmu terhadapku. Pergilah engkau menjadi hamba Alloh (mistikus-sufi.blogspot.com/2008/03/abu-yazid-al-bustami.html, 27 Nopember 2010).

    Abu Yazid Albustami, nama kecilnya ialah Thaifur. Nama beliau sangat istimewa dalam hati kaum sufi seluruhnya. Bermacam-macam pula anggapan orang tentang pendirian Abu Yazid ini. Beliau pernah berkata : "Kalau kamu lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walupun dia sanggup terbang di udara, maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti suruhan dan menghentikan dan menjaga batas-batas syari'at". Dengan perkataan beliau yang seperti ini jelaskan bahwasanya tasauf beliau tidaklah keluar dari garis syara'. Artinya tasauf yang senantiasa diukur dengan contoh teladan yang ditinggalkan Nabi dan tidak memilih jalan sendiri diluar agama. Tetapi, selain dari perkataan yang jelas dan terang itu, terdapat kata-kata Abu Yazid yang "ganjil" dan dalam, yang mserti hati-hati memahamkannya (HAMKA, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas, Jakarta 1993, hal 93-94).

    1. Pengertian Al-Fana wa Baqa'


     

        Secara logawi, fana' berarti hancur, lebur, musnah, lenyap, hilang atau tiada; dan baqa' berarti tetap, kekal, abadi atau hidup terus (l;awan dari fana'). Fana' dan baqa' merupakan kembar dua dalam arti bahwa adanaya

    fana' menunjukkan adanya baqa'. Dalam istilah R. A. Nicholson dikatakan:

    "The complement and consummation of death to self (fana') is everlasting

    life in God (baqa')" (R. A. Nicholson, 1973: 214). Yakni, "Kelengkapan

    dan kesempurnaan dari leburnya pribadi (fana) ialah kehidupan abadi di

    dalam wujud Tuhan (baqa)". Hal ini memang dapat dilihat dari fahamfaham

    sufi berikut :

    - Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, yang akan tinggal ialah taqwanya.

    - Siapa yang menghancurkan sifat-sifat (akhlak) yang buruk, tinggal baginya sifat-sifat yang baik.

    - Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, tinggal baginya sifat-sifat Tuhan. (Harun Nasution, 1973: 80)

        Dalam istilah tasawuf, fana' berarti penghancuran diri yaitu al-fana''an al-nafs. Yang dimaksud dengan al-fana' 'an al-nafs ialah hancurnya perasaan atau kesadaran seseorang terhadap wujud tubuh kasarnya dan alam sekitarnya (http://digilib.sunan-ampel.ac.id/files/disk1/12/hubptai-gdl-asmaranas-584-1-asmaran.-i).

    Al-Qusyairi tentang ini mengatakan :

        Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu……. Sebenarnya dirinya ada dan demikian pula makhluk lain ada. Tetapi Ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya (http://digilib.sunan-ampel.ac.id/files/disk1/12/hubptai-gdl-asmaranas-584-1-asmaran.-i).

    Dr. Ibrahim Basyuni, setelah mengumpulkan beberapa definisi pengertian fana' ini sebagai berikut :

  • Fana, keadaan jiwa yang menghilangkan hubungan manusia dengan alam dan raganya, bukan menghilangkan wujud kemanusiaannya (Ibrahim Basyuni, t.th: 239).

Dalam hal pengertian fana' ini, di dunia tasawuf, kata Dr. Ibrahim Madkur berarti :

  • Teori yang pada kesimpulannya menjelaskan tentang hilangnya kesadaran dan perasaan pada diri dan alam sekitar, terhapusnya seorang hamba di dalam kebesaran Tuhan, sirnanya seorang hamba terhadap wujud diri-nya dan kekal (tinggal) di dalam wujud Tuhannya setelah melewati perjuangan dan kesabaran serta pembersihan jiwa (http://digilib.sunan-ampel.ac.id/files/disk1/12/hubptai-gdl-asmaranas-584-1-asmaran.-i.pdf).

Dan dalam masalah ini pula, Nicholson mengatakan : To Pass away from self (fana') is to realize that self does not exist, and that nothing exista except God (tauhid)" (http://digilib.sunan-ampel.ac.id/files/disk1/12/hubptai-gdl-asmaranas-584-1-asmaran.-i.).

    Sebenarnya dalam sepanjang sejarah tasawuf, istilah fana' kata Nicholson, memiliki beberapa tingkatan, aspek dan makna. Semuanya dapat

diringkaskan sebagai berikut :

a. Transformasi moral dari jiwa yang dicapai melalaui pengendalian nafsu dan keinginan.

b. Abstarksi mental dan berlakunya pikiran dari seluruh objek persepsi, pemikiran, tindakan dan perasaan; dan dengan mana kemudian memusatkan fikiran tentang Tuhan. Yang dimaksud dengan memikirkan Tuhan adalah memikirkan dan merenunggi sifat-sifat- Nya.

c. Berhentinya pemikiran yang dilandasi kesadaran. Tingkat fana yang tertinggi akan tercapai apabila kesadaran tentanag fana itu sendiri juga hilang. Inilah yang oleh para sufi dikenal "kefanaan dari fana" atau lenyapnya kesadaran tentang tiada (fana' al-fana') (R. A. Nicholson, 1975: 60-61). Selanjutnya, kata Nicholson, tahap terakhir dari fana' adalah lenyapnya diri secara penuh, yang merupakan bentuk permulaan dari baqa,

yang artinya berkesinambungan di dalam Tuhan (Nicholson, 1975: 61).

    Dengan demikian jelaslah bahwa dalam faham fana ini, materi manusianya tetap ada dan sama sekali tidak hilang atau hancur, yang hilang

hanya kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Ia tidak merasakan lagi akan

eksistensi jasad kasarnya. Nicholson mengertikan faham ini sebagai: fana

the passing-away of the Sufi from his phenomenal existence, in volves baqa', the continuance of his real existence. He who dies to self lives in

God, and fana, the consummation of this death, marks the attainment or

baqa', or union with the divine life" Yakni, "Fana (http://digilib.sunan-ampel.ac.id/files/disk1/12/hubptai-gdl-asmaranas-584-1-asmaran.-i, 28 Nopember 2010).

    Sirnanya sufi terhadap wujud dirinya, masuk ke dalam baqa, kesinambungan wujudnya yang sebenarnya. Dia orang yang kelihatan pribadi, hidup bersama Tuhan, dan fana, kesempurnaan dari kematian (kehancuran) ini, menandakan tercapainya baqa, atau persatuan dengan kehidupan Ilahi" (http://digilib.sunan-ampel.ac.id/files/disk1/12/hubptai-gdl-asmaranas-584-1-asmaran.-i, 28 Nopember 2010).

    Al-Junaid, sebagaimana dikemukakan oleh Ibrahim Basyuni, menggambarkan fana' sebagai "sirnanya daya tangkap hati terhadap yang

bersifat indrawi karena menyaksikan sesuatu, maksudnya lenyap segala yang ada dihadapan serta segala sesuatu dari serapan indrawi sehingga tidak

ada sesuatu yang dapat diraba dan dirasakan" (http://digilib.sunan-ampel.ac.id/files/disk1/12/hubptai-gdl-asmaranas-584-1-asmaran.-i, 28 Nopember 2010).

    Abu Yazid al-Bustami, yang dalam sejarah tasawuf dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan faham fana dan baqa ini mengartikan fana sebagai hilangnya kesadaran akan eksistensi diri pribadi

(al-fana' 'an al-nafs) sehingga ia tidak menyadari lagi akan jasad kasarnya

sebagai manusia, kesadarannya menyatu ke dalam iradah Tuhan, bukan

menyatu dengan wujud-Nya (http://digilib.sunan-ampel.ac.id/files/disk1/12/hubptai-gdl-asmaranas-584-1-asmaran.-i, 28 Nopember 2010).

Lebih jelas lagi faham ini tersimpul dalam kata-katanya :

- Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya maka akupun hidup.

Dan katanya pula :

- Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati; kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup, ………..aku berkata : Gila pada diriku adalah kehancuran dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup. (Harun Nasution, 1973: 81)

    Jadi kalau seoarang sufi telah mencapai al-fana' 'an al-nafs, yaitu kalau wujud jasmaniah tidak ada lagi yaitu kalau wujud jasmaninya tidak ada lagi (dalam arti tidak disadarinya lagi) maka yang akan tinggal ialah wujud rohaninya dan ketika itu dapatlah ia bersatu dengan Tuhan. Dan kelihatannya persatuan denngan Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainya al-fana' 'an al-nafs (http://digilib.sunan-ampel.ac.id/files/disk1/12/hubptai-gdl-asmaranas-584-1-asmaran.-i, 28 Nopember 2010).

    Konsep fana' merupakan tahapan awal yang berarti meleburkan diri. Dari kata faniy, fana atau al-fana' yang artinya hacur, hilang (disappear, perish, annihilate). Kalau seorang sufi ingin mencapai tingkat ittihad, maka tahapan al-fana' ini merupakan bagian yang tidak dapat ditinggalkan oleh seorang sufi. Sedangkan makna yang dimaksud dari al-fana ini adalah menghilangkan segala yang berbentuk materi maupun sifat-sifat perbuatan jahat atau kemaksiatan. Setelah perbuatan buruk hilang, maka tinggallah yang sifat-sifat yang baik (http://digilib.sunan-ampel.ac.id/files/disk1/12/hubptai-gdl-asmaranas-584-1-asmaran.-i, 28 Nopember 2010).

    Sementara konsep al-baqa' adalah kelanjutan dari pengertian al-fana yang berarti 'tetap', terus hidup (to remain persevere). Jadi kalau sesuatu yang tetap dan memiliki substansi yang sangat esensial. Sesuatu yang esensial adalah bagian apa sesungghunya ada pada diri Tuhan itu. Jadi konsep baqa' dalam hal ini merupakan sesuatu sifat baik.
Untuk memahami lebih lanjut, dikatakan nahwa pengertian al-fana di sini bagi sufi adalah keinginan untuk menghancurkan diri (al-fana al-nafs) baik yang berbentuk perasaan maupun yang bersisifat fisiologis (tubuh kasar). Sebagaimana penjelasan Qusyairi yang dikutip Harun Nasutian berikut ini:
"Fana seseorang dari diriya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu…. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lain itu ada, tetapi ia tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya."

    Sehingga untuk menuju ke Tuhan perlu al-fana' an al-nafs yakni kalau wujud jasmaniahnya tak ada lagi (dalam arti tak disadarinya lagi), maka akan tinggal (baqa') wujud rahaniahnya saja, dan ketika itu pula ia dapat bersatu dengan Tuhan(http://digilib.sunan-ampel.ac.id/files/disk1/12/hubptai-gdl-asmaranas-584-1-asmaran.-i, 28 Nopember 2010).

  1. Konsep Al-Fana wal Baqa' di Mata Syariat

Abu Yazid Albustami, nama kecilnya ialah Thaifur. Nama beliau sangat istimewa dalam hati kaum sufi seluruhnya. Bermacam-macam pula anggapan orang tentang pendirian Abu Yazid ini. Beliau pernah berkata : "Kalau kamu lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walupun dia sanggup terbang di udara, maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti suruhan dan menghentikan dan menjaga batas-batas syari'at". Dengan perkataan beliau yang seperti ini jelaskan bahwasanya tasauf beliau tidaklah keluar dari garis syara'. Artinya tasauf yang senantiasa diukur dengan contoh teladan yang ditinggalkan Nabi dan tidak memilih jalan sendiri diluar agama. Tetapi, selain dari perkataan yang jelas dan terang itu, terdapat kata-kata Abu Yazid yang "ganjil" dan dalam, yang mserti hati-hati memahamkannya (HAMKA, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas, Jakarta 1993, hal 93-94).

BAB III

PENUTUP


 


 

  1. Kesimpulan

    Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid al- Bustani dipandang sebagai pencetus tahun fana', baqa' dan ittihad, fana ' dan baqa' merupakan kembar dua dalam pencapaian ittihad. Dengan katalain, ittihad itu barutercapai setelah melewati fana dan baqa.
Fana' yang dimaksudkan disini ialah hilangnya kesadaran akan ujud dirinya (al-fana 'an nafs ) dan ujud alam sekelilingnya (al-fana 'an al-
Khaluq) hingga ia (sufi) tidak tahu bahwa dirinya dalam keadan fana' (al-fana 'an Allah). Kerena seluruh aktivitas dan kesadarannay terkonsentrasi pada Allah, maka ia larut dalam kesadaran Allah (al-fana fi
Allah) dan akhirnya pada saat itu yang ada dalam perasaannya hanyalah Allah (al-baqa bi Allah). Dalam keadaan demikian ia merasa dirinya telah bersatu dengan Allah (ittihad) Ittihad sebagai pengalaman sufistik haruslah dikaji dalam konteks kejiwaan, ia memiliki beberapa cirri yang harus diperhatikan oleh pengkajian tasawuf. Pro kontra faham ittihad harus dilihat dari sudut ini.

Beberapa ciri pengalaman sufistik itu adalah:

1. tidak bisa diungkap kepada orang yang belum mampu atau belum siap menerimanya.

2. memberikan pencerahan dan kesadaran baru yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan nalar intelik.

3. pengalaman seperti itu hanya terjadi sebentar, paling lama hanya berlangsung dua jam.

4. terjadi kepasifan total dimana perasaannya butuh kedalam kesadaran terhadap sesuatu yang menguasai dirinya.

Pengalaman misik tertinggi memeng mengahasilkan situasi kejiwaan yang disebut ekstase. Dalam khazanah kaum sufi', ekstase itu sering dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayang oleh minuman kebenaran (al-Haqq) yang memabukkan. Bahkan untuk mereka minuman yang memabukkan itu tidak lain ialah apa yang mereka namakan dlamir
al-sya'n, yaitu kata "an" yang berarti "bahwa" dalam kalimat syahadath pertama asyhadu al lailaha illa Allah (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah). Pelukisan ini untuk menunjukkan betapa intensenya mereka menghayati tauhid, sehingga mereka menyadari apapun yang lain selain Dia yang Maha Ada.

Daftar Pustaka


 


 

(http://digilib.sunan-ampel.ac.id/files/disk1/12/hubptai-gdl-asmaranas-584-    1-asmaran.-i, 28 Nopember 2010).

HAMKA, 1993. Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka     Panjimas,     Jakarta

mistikus-sufi.blogspot.com/2008/03/abu-yazid-al-bustami.html,

    27 Nopember 2010

0 Responses to “(Tasawuf) Fana’ wa Baqa’”

Posting Komentar

Silahkan berkomentar untuk entri artikel di blog making duit.